REALISTIS? Tetap (mencoba) Mandiri, atau Berkompromi.
4:40 pm
"Mas ada polisi diluar” setengah berbisik
seorang kawan dari komunitas gambar, speaker masih bersuara begitu pula dengan
proyektor pinjaman masih menyorotkan gambar berupa lirik lagu, kekonyolan-kekonyolan
masih berjalan. Bergegas saya dan seorang teman beranjak dari ruang belakang
melewati ruang tengah dimana kawan-kawan dari komunitas pecinta gambar sedang
menjalani ritual sketch jamming, bercangkir-cangkir kopi tampak berserak tanpa tau
siapa sang empu-nya, pun begitu dengan saya yang berkali-kali harus bertanya
untuk memastikan biar tidak salah menyeruput kopi orang.
Dan benar saja diruang
depan atau lebih tepat disebut teras pemilik warung kopi sedang berdialog
dengan seorang anggota polisi. Bertiga kami mengajak beliau untuk menengok
kegiatan yang sedang berjalan, ada insiden konyol yang terjadi sewaktu pak
polisi masuk kevenue, “Pak RT datang bawa polisi aku diseret dari kamar
mandi,..” reff lagu jamrud dengan volume speaker dilevel menyebalkan bagi orang
normal membuat kawan-kawan divenue tak menyadari kehadiran polisi sedang saya
sendiri mati-matian menahan kencing karena tak bisa berhenti tertawa . Bubar, itu yang terlintas dalam pikir saya, hal yang bakal memancing
tensi pak polisi. Tapi ternyata dia anteng-anteng saja entah juga tidak sadar
atau memang sedang mencoba tetap berwibawa. Dan yang terjadi kemudian seperti
dejavu, khotbah berulang membosankan tentang aturan pengumpulan massa dan
perijinan acara, yang berujung dengan himbauan untuk menghentikan kegiatan yang
sedianya memang sudah mau bubar. Hal yang sudah biasa saya hadapi. Beruntung
kali ini ada kawan yang berhasil mendokumentasikan moment berharga ini. Dalam
hati saya bersorak girang, biaya produksi acara yang tidak seberapa ditukar
dengan dokumentasi keren. “Saya menang pak polisi, saya menang hahahaha!”
Gesekan
dengan aparat seperti itu bagi kami khususnya saya pribadi sudah bukan menjadi
hal yang mengejutkan. Setidaknya sudah beberapa kami saya menemui kegiatan yang
bergesekan dengan aparat mulai dari pembubaran kegiatan amal dibawah intimidasi
senapan laras panjang dan beberapa kali kegiatan lain batal karena satu-dua hal,
paling sering berbelitnya perijinan. Dan kebanyakan dari acara tersebut adalah
kegiatan yang tidak berorientasi profit. Pada wilayah wacana merubah perijinan
dan birokrasi tidak akan saya bahas disini karena wilayah itu memang bukan
wilayah yang kita bisa rubah dengan mudah atau meminjam istilah kang Herry Sutresna “Perang yang tak mungkin kita menangkan” Namun saya coba menawarkan
strategi-strategi yang mungkin bisa kita lakukan agar kegiatan-kegiatan yang
sifatnya kolektif tetap berjalan. Dan ada pula kompromi-kompromi yang sebisa
mungkin saya hindari.
Pertama
adalah pemisahan prioritas dari skala kegiatan. Seperti kegiatan kolektif
dengan skala kecil dan budget yang kecil pula semacam studio gigs, sketch
jamming, akustik session, malam amal dalam skala kecil tentunya. Kemudian ada
kegiatan kolektif dengan skala besar dengan budget yang lebih besar lagi
tentunya dan melibatkan lebih banyak pihak salah satunya sponsor sebagai
pendukung pendanaan. Ketika melibatkan pihak luar sebagi pendukung dana berarti
secara langsung atau pun tidak kita membuat semacam ikatan komitmen agar
kegiatan berjalan lancar.
Dimulai
dari kegiatan-kegiatan skala kecil, untuk saya pribadi punya prinsip “hajar waelah!”
artinya jalankan saja, walaupun memang ada point-point yang harus di perhatikan
agar kegitan berjalan lancar. Salah satunya venue, berlajar dari beberapa
kegiatan yang pernah dibuat dan gagal tentunya, yang kemudian menjadi salah
satu cara menyiasati sempitnya ruang publik untuk kegiatan kolektif adalah
mencoba bekerja sama dengan kawan-kawan yang mempunyai usaha yang memang
menjadi tempat nongkrong, seperti yang saya lakukan beberapa waktu lalu bekerja
sama dengan warung makan dengan konsep garden resto.
Ada beberapa keuntungan
bekerja dengan manuver seperti ini selain tanpa perlu mengurus perijinan,
pemilihan tempat makan atau warung kopi seperti ini juga memberikan feedback
positif bagi pemilik lokasi itu sendiri. Selain publikasi yang akan berefek
dalam jangka panjang juga omset saat kegiatan berlangsung juga akan membantu
dapur pemilik venue tetap mengebul setidaknya ini efek langsung yang bisa kita
beri sebagai imbal balik yang positif. Walau pun untuk strategi seperti ini ada
konsekuensi yang harus diambil yaitu durasi waktu kegiatan yang harus menyesuaikan
jam operasional lokasi. Dan saya kira untuk kegiatan skala kecil saya lebih
suka kembali ke prinsip awal, “hajar wae” dengan konsep yang harus matang di
awal, maka problem yang bersifat teknis akan kelar dengan sendirinya, tentu
didukung dengan tim produksi yang punya tenaga ekstra.
***
Lain
lagi untuk kegiatan dengan skala yang lebih besar dalam hal ini saya mengambil
contoh Pertunjukan musik. Peran venue sangat berpengaruh pada keberhasilan
acara, pemilihan lokasi dan kapasitas yang lebih memadai harus menjadi hal yang
digaris bawahi. Estimasi jumlah massa yang lebih besar juga menjadi hal patut
di perhitungkan. Tiga hal tersebut akan berbanding lurus dengan budget kegiatan
itu sendiri. Dengan besarnya skala acara dan juga besarnya biaya produksi acara
maka irisan dengan pihak-pihak luar tentunya tidak akan dapat dihindarkan dalam
hal ini aparat keamanan selaku otoritas yang selalu merasa memiliki kuasa untuk
memberi ijin, juga penyandang dana yaitu sponsor-sponsor yang mendukung biaya
produksi.
Dalam urusan dengan aparat, saya punya sedikit pengalaman saat
mendapat bagian pengurusan perijinan. Pada waktu itu saya sempat melakukan
blunder dengan melakukan kompromi-kompromi mengingat dibelakang saya ada
janji-janji dari seorang yang kalau tidak salah dulu adalah Calon anggota dewan
yang menjanjikan akan membantu kelancaran proses perijinan dari balik meja tentunya.
Walau akhirnya nothing! Saya sendiri juga sempat menjual nama saudara yang
kebetulan juga anggota kepolisian hasilnya juga nihil, yang saya dapat hanyalah
janji-janji manis, “Klean semua sama sajah!” Walaupun akhirnya surat perijinan
juga rilis dengan tenggat waktu yang sangat mepet dengan hari kegiatan, itupun
dengan biaya yang jauh dari anggaran yang sudah saya sediakan. Mulai dari situ
kemudian saya memutuskan tidak lagi melakukan kompromi-kompromi dengan aparat
dan birokrasi, walaupun itu juga acara dengan skala lumayan besar yang terakhir
saya garap. Dengan kata lain untuk kegiatan yang dengan skala seperti ini yang
perlu di tekankan adalah pemilihan waktu dan kompetensi tim kerja itu sendiri,
mengingat dibelakang kita ada pihak penyandang dana yang juga mengharap imbal
balik positif dari dana yang telah mereka keluarkan.
Pemilihan
waktu yang saya maksud adalah kita harus tau apakah dalam waktu yang bersamaan
atau berdekatan dengan kegiatan kita ada agenda kegiatan juga dari pemerintah.
Karena parade karnaval tai kuda-pun kalau itu “pelat merah” sudah saya pastikan akan menghambat perijinan,
walaupun kita sudah berbusa dalam berargumen.
Kedua kompetensi tim produksi, yang dalam hal ini bagian pengurusan
perijinan harus memang sudah berpengalaman agar tidak diperumit, karena dari
yang saya kerjakan berkas-berkas pengurusan perijinan itu tidak rumit. Yang
rumit adalah ketika kita merasa punya beking kemudian melompati beberapa
tahapan, itu akan mempersulit gerak kita sendiri, percayalah satu-satunya yang
bisa dipercaya dari beking birokrasi adalah mereka punya kepentingan dan mereka
tukang bohong! Ketika kita yakin masalah tanggal dan berkas sudah selesai maka
yang perlu kita lakukan adalah ikuti saya alur permainannya, pada akhirnya
mereka hanya akan menyebut besaran yang diminta, untuk menghadapi ini pasang
saja muka sedih bin murukuculu dan
ajukan penawaran dengan segala mulut manis. Bila besarannya kita ajukan cocok
menurut mereka maka, Voila! Surat perijinan akan rilis dengan sendirinya.
Problem yang bersifat teknis juga akan selesai dengan sendirinya jika didukung
oleh tim produksi yang yahud.
Setidaknya
itu yang saya hadapi diwaktu-waktu dulu, dan dengan tenaga yang tersisa
sekarang saya sendiri lebih suka mengerjakan kegiatan-kegiatan dengan skala kecil.
Yang menurut saya untuk waktu sekarang lebih efektif untuk mengumpulkan
kawan-kawan yang masih punya energi untuk berkegiatan. Ngobrol santai sembari
ngopi maka akan banyak hal-hal yang bisa dibahas dan bisa menghasilkan ide-ide
kegiatan dengan ajaib. Juga menjadi semacam masturbasi personal sebagai pemuas
hasrat saya dalam hal beribet-ribet ngurus kegiatan.
Beberapa
hal tersebut sampai sekarang menurut saya masih cukup efektif dan paling
realistis diterapkan untuk mengindari kompromi-kompromi banal, mengingat ruang
gerak kegiatan kreatif yang bersifat kolektif seperti ini kedepan akan semakin
sempit. Dan sikap non-kompromis seperti ini sebenarnya adalah sikap personal saya
dalam hal berkegiatan, dan ini saya berlakukan lebih pada wilayah personal saya
sendiri. Sedangkan pada wilayah kultural saya sangat kompromis dengan
kawan-kawan yang bersebrangan dengan pandangan saya ini. Yang berpandangan
bahwa kompromi-kompromi dengan birokrasi adalah sikap paling realistis agar
kita tidak menjadi korban birokrasi itu sendiri. Namun sekali lagi pada wilayah personal
khususnya pada kegiatan-kegiatan kolektif saya akan mencoba sekuat tenaga untuk
menjauhi hal-hal yang sifatnya birokratif, guna memperkecil kemungkinan saya
sendiri tergiur tawaran untuk berkompromi dan kemudian dikooptasi. Walaupun itu
menjadi juga menjadi ironi yang besar dalam kehidupan saya mengingat saya
sendiri berkerja sebagai tukang kebesihan dengan honor yang diambil dari APBD
Pemkab hahahaha, kalau boleh meminjam kata dari om Joker “why so seriously?”
ditulis oleh Ipunk, untuk Majalah Koak yg juga berafiliasi dengan Majalah Malam. Untuk didedikasikan acara Karaoke Berotot Oktober 2016.
NB: Maaf
saya ingkar janji!
NB 2: Biar tidak terlalu tegang saya mau cerita sore tadi saya melakukan blunder kata-kata waktu chat dengan teman wanita, yang menanyakan pertanyaan keramat, “Memang kamu udah siap kalau ada yang minta dihalalin?” dan saya jawab “belum” plus emoticon ketawa dan dengan cekatan tanpa sadar jempol memencet logo kirim. Jawaban paling lugu dan realistis. Hasilnya? Jawaban singkat padat dan pekat yang membuat saya pringas-pringis sendirian. Mencoba realistis itu terkadang lucu juga.
NB 2: Biar tidak terlalu tegang saya mau cerita sore tadi saya melakukan blunder kata-kata waktu chat dengan teman wanita, yang menanyakan pertanyaan keramat, “Memang kamu udah siap kalau ada yang minta dihalalin?” dan saya jawab “belum” plus emoticon ketawa dan dengan cekatan tanpa sadar jempol memencet logo kirim. Jawaban paling lugu dan realistis. Hasilnya? Jawaban singkat padat dan pekat yang membuat saya pringas-pringis sendirian. Mencoba realistis itu terkadang lucu juga.
0 komentar