Prakata


Majalah MALAM


Membicarakan permulaan dan perasaan adalah sesuatu yang tidak akan henti-hentinya untuk diperbincangkan. Saya yakin, di era serba mudah ini kita semua telah terjerumus ke dalam kemalasan, jangankan membuat sesutau yang sesuai passion kita, apalagi membaca. Namun, akan sangat menyenangkan bila kembali ke era dimana kita masih memiliki ke semua hasrat tersebut. 

Dan mengembalikannya pun adalah dengan menggali dalam apa yang telah terjadi di masa lampau, apalagi kalau semuanya telah tersimpan rapi di beberapa kolong usang maupun istana baca megah jagat maya atau nyata. Yang jelas, seperti mengingat kembali era djaya sinetron Tersanjung yang kisahnya pelik dan panjang, bahkan ada soundtrack yang selalu mengawali kisah tersebut. Sebut saja, Retno Susanti, seorang biduan yang mampu menggiring emosi penonton Tersanjung untuk ikut hanyut dalam kepiluan dalam lagu tersebut. 

Dalam setiap kehidupan anak-anak muda sekarang, soundtrack atau lagu bisa menjadi adalah sebuah aksesoris yang senantiasa melekat dalam perjalanan mereka. Dalam perjalanan karir ataupun cinta, dari Pixies hingga Nirvana, dari Pentagram hingga The Sword, dari David Bowie hingga Arcade Fire dan bahkan dari Black Sabbath hingga Pathetic Waltz. Ini semua adalah untuk menghias apa yang sedang mereka alami, rasakan dan emosi yang meledak-ledak serta hasrat tinggi khas anak muda dalam era teknologi masa kini.

Hal-hal seperti ini harus tetap dipertahankan agar kita semua tidak terjebak dalam kenyamanan. Untuk edisi awal ini, kita mencari apa yang disebut diri sendiri dan dalam kebebasan kita coba mengerti sesuatu apa yang kita ingini. Begitulah kutipan lagu "Malam" dari Pathetic Waltz yang juga menjadi tema Majalah Malam untuk edisi perdana ini. 

Sebuah fanzine untuk Anak Malam dalam mengarungi kesepian, kepiluan dan hingar bingar malam. Semoga senantiasa kita semua membebaskan.