Supertramp In Hell - Gili Trawangan
4:39 pmBegini, mengapa aku tertarik menuliskan ini kembali? Sebenarnya jika harus menulisnya lagi seperti ini, membuatku ingin kembali kesana, yah karena salah seorang teman tertarik untuk tahu rincian anggaran biaya perjalanan darat nan tramp kePulau Lombok. Namun, ini bukanlah trik tingkat dewa dengan siasat super pun muslihat, tidak, justru ini hal-hal yang tak perlu dicontoh jika kamu memang orang yang berduit..haha.
Namanya mas Yoppi, dia juga salah satu metalhead dari Jaten, era 90an akhir dan eks-member Vampire (death metal/RIP) asal Karanganyar. Dia ingin ke Rinjani pertengahan tahun ini, dia salah satu anak gunung, suka mendaki, dan tahun lalu dia telah tuntas mendaki hamper seluruh gunung di Pulau Jawa, dan ini akan menjadi perjalanan pertamanya ke Rinjani. Nah, berikut rincian dan kisah ketika aku ke Pulau Lombok dalam rangka Supertramp in Hell.
***
Jumat, 13 Januari 2012 dalam hiruk pikuk kota Solo, kami bertiga antara aku, Aga, dan Supono Rogo memutuskan untuk berangkat dari rumah sekitaran jam 4 sore, cuaca tidak mendukung saat itu, hujan lebat. Kami naik bus dari depan pabrik Kusumahadi, Jaten dengan bus Langsung Jaya arah terminal Tirtonadi dengan tarif per-orang hanya Rp.3000,- dan sementara itu, kami membawa uang masing-masing 600ribu, jatah dari Pakde Pono, tapi waktu itu aku Cuma bawa uang 500ribu, karena sebagian uang sudah terpakai sebelem pemberangkatan..haha. Uang itu entah darimana asalanya, kami diajak pakde untuk menemaninya kesana, ditraktir dan yak modal raga, mental dan beberapa otak serta pengalaman..hehehe.
Oke, sampailah ke Tirtonadi, waktu tempuh dari rumah ke Tirtonadi hanya beberapa menit saja, paling lama 15menitlah. Kami berkutat diterminal mencari bus, memang sudah direncanakan untuk naik bus sebelumnya. Oya, sebelumnya kami juga membawa beberapa bekal makanan kecil untuk cadangan makanan di jalan. Nah, sekitar pukul 6 kurang, kami dapat bus Mila Sejahtera, arah Banyuwangi dengan tarif per-orang Rp.80.000,- yang telah naik dari harga 2011 lalu.
Ditemani sedikit iringan hujan dan gerimis sisa, bus melaju, namun ku piker bus ini akan sekeren Sumber Kencono dengan larinya yang super Bengal, ah ternyata ilustrasi pakde saya soal bus ini salah kaprah. Dengan bodi karat, bus melaju dengan nyamannya sampai pada akhirnya di Ngawi turun sejenak untuk buang air kecil saya. Mungkin, karena sebelumnya di dalam bus, pakde saya menyapa salah seorang tak dikenal, nama inisial tidak diketahui, bukan mawar atau bunga, nah pakde saya dengan keramahannya-pun menyapa orang tadi, “Mas, mas..kowe sih eling aku rag??” sontak saja mas yang tadi berdiri itu kaget, mungkin dalam pikirnya, “Iki sopo meneh iki..wes ah, etok-etok kenal bent oleh panggon lungguh..”. Nah, tanpa piker panjang mas tadi duduklah, dan setelah ngobrol-ngobrol dengan pakdeku, eits beh dia salah orang, mas tadi ternyata bukan teman semasa mudanya, namun hanyalah orang yang kebetulan lewat. Lantas turunlah si Mas situ di depan, hanya sebentar dalam bus, mungkin menahan ketawa melihat keramahan pakdeku yang super rock n roll.
Pakde Supono, kenapa kusebut seperti itu? Pertama, dia adalah satu-satunya pakde penggila motor lawas, masih inget ketika sticker gambar lidah melet, sebut saja miliknya Rolling Stones itu tertempel di selebor motornya serta jaket kulit kesukaannya kemudian beberapa foto muda yang gondrong nan liar membalap sepeda. Singkat, aku dan Aga tertawa terkekeh-kekeh dengan kejadian di bus itu.
Malam semakin larut, perjalanan terus berlanjut. Sampailah ke Jember, ini dipersingkat ceritanya, di sebuah pom bensin dalam waktu dini hari menjelang subuh, bus Mila Sejahtera cukup sampai disitu, lantas kami para penumpang dipindah bus satunya dengan AC super dingin nan bocor. Apes, ketiban aku duduk dibawah AC itu, air menetes dingin makin menusuk tulang, namun tak terlalu kurasa, meski tanpa jaket hanya pake celana hunter pendek. Disitu, pakdeku dengan pede nan gagahnya, “Ros, pindah kene ae, bent ra kademen..”, keluargaku biasa memanggilku Rossi daripada Alta. Sahutku saja “gah de, pe-we,,bacut enak…(dalam hati tetaplah kedinginan cuss”. Sementara Aga ikut pindah ke tempat duduk pakde yang sebelumnya dia duduk bersebelahan denganku, dia kedinginan juga.
Setelah berjalan beberapa kilometer, pakdelah yang terkena serangan CFC. Tubuhnya meriang dan hamper muntah-muntah, begitulah akibatnya orang-orang tua yang ingin dianggap gagah dan kuat oleh yang muda..hahaha. Sampailah di terminal akhir Banyuwangi, dari situ kami naik angkutan ke pelabuhan Ketapang. Ongkosnya hanya Rp.10.000,- saja dan kali ini supirnya mengganas, kebut terus pak bleehhh…
Sampai pelabuhan sekitar jam 7 pagi, lantas beli tiket ferry, lalu cuci muka, sulut cigar, menikmati sebentar nuansa pelabuhan dan sejuknya udara pagi dan naiklah ke ferry dengan biaya penyeberangan Rp.6.000,- dari Ketapang ke Gilimanuk, Bali. Di ferry, kami bertiga banyak berbagi, tentang hubungan di rumah, kisah diantara keluarga kami dan sebagainya. Tapi tak perlulah diceritakan disini, yang kami tahu saat itu, sampai sana kami hanya mau bersenang-senang.
Ketapang, 14 Januari 2012 - Aga & Supono Rogo |
Tiba di Gilimanuk, dalam kurun waktu penyeberangan kurang lebih 30 menit saja, cuaca untungya bagus, tidak ada ombak besar seperti yang dikhawatirkan. Maklum, Januari waktu itu hujannya tak tentu. Turun dari kapal, keluar pelabuhan, dan calo menunggu dari balik semaknya, dengan tawaran yang menggiurkan mengantar ke Denpasar. Tidak! Kami putuskan jalan kaki sebentar, menikmati Bali pagi hari itu, hingga ke beberapa kilometer dari pelabuhan. Berhenti sejenak, sulut cigar lagi, aih kernet bus gentian menawar, dan dengan pasang lagak sangarnya, “Naiklah, sampai Denpasar dengan tarif Rp.45.000,-!!“, ujarnya. Kami bilang, “Tidak dan Tidak!!”. Sementara mereka terus memaksa, pakdeku makin gusar dan terduduk jongkok pasrah, melas mukanya, Aga juga ikut sama namun tak duduk jongkok, aku cukup mengelus dada, ini salah kekolotan, atau kami yang lugu dengan budget minim dan berasal dari kampong inikah atau siapa? Yasudah, kami putuskan istirahat di bus, kami terpaksa naik setelah sebelumnya sepakat kami tawar Rp.25.000,- dari Gilimanuk ke Denpasar.
***
Jarak ke Denpasar dari Gilimanuk mungkin sekitar 130kilometer lebih, aku lupa bawa note atau lebih tepatnya malas mencatat waktu itu. Sampai di terminal Denpasar itu sudah sore, dibarengi hujan deras. Pakde putuskan sholat, hamper tak pernah dilewatkan untuk urusan ibadah oleh pakdeku. Untung masih sekitar jam3, meski kondisinya mulai kelihatan menurun disaat tiba itu. Beli obatlah dia diwarung, selesai ibadah, menunggu angkot sama teman kenalan Aga, yang lama tak jumpa. Teman dari chat mig33..hahaha.
Dia datang dengan motornya, menunggu paketnya datang dari Pulau seberang, katanya. Kami ngobrol sebentar, lalu angkot datang, mengajak dengan tarif tawar Rp.45.000,- per-orang. Tidaklah, lantas harga mulai turun 10ribu, dan sepakatnya untuk perjalanan ke Pelabuhan Padang Bay, kami dipatok harus membayar Rp.30.000,- (naik mungkin dari tahun lalu, atau kami yang kurang cerdik menawar atau karena keluguan kami??). Jaraknya, hanya sekitar 50-60kilometer dari Denpasar, harusnya lebih murah kan, logikanya. Ini perjalanan naik colt yang menarik, bersama bule-bule yang cantik, dengan tujuan sama, Lombok. Jalan ke Padang Bay juga enak, tak terlalu ramai, Pakde muntah juga akhirnya, baru beberapa kilometer perjalanan, siaplah dengan kantong plastic menampung muntahan lahar dingin dari tenggorokannya, meski setelah itu dengan sayup-sayup hujan rintik-rintik membuat aku dan pakdeku tertidur pulas di kuris depan. Aga, mendapat teman sebaya di belakang, teman baru, dan matanya agak jelalatan ke bule-bule itu..hihii..mungkin saja.
Tiba di pelabuhan Padang Bay jam 5 Sore, di hari Sabtu tanggal 14 Januari 2012. Menyisakan 2 bule cewek, dan sekeluarga yang juga akan menyeberang ke Lombok. Kami lapar, putuskan makan di warung sekitar pelabuhan, tidak terlalu mahal, cukup untuk mengisi perutnya pakde, Aga dan aku. Dan, kami harus habiskan dengan cepat makanan nasi kering itu, karena kapal segera berangkat, katanya kapal hanya berangkat satu jam sekali disini. Itupun, sebelum akhirnya ombak besar dan cuaca buruk di sana itu terjadi setelah kami pulang dari sana itu.
Cuaca bersahabat baik, namun tidak untuk para calonya, kami beli tiket ferry dengan harga Rp.36.000,- per-orang, dan hamper saja calo mendapatkan tiket kami yang direbutnya secara halus. Namun berhasil kami rebut kembali, “Ayo, bung rebut kembali!!”hihii. Tiket aman, namun suasana membuat kami tertekan, kapal berangkat jam 6, kami terlambat beberapa menit saja padahal. Istirahatkan diri sejenak sambil, eh ada nona cantik parker motor bersandar, dengan celana gemesnya menunggu temannya dari pulau seberang. Mungkin, anak kuliahan, yah lumayan untuk pengusir penat.
Naiklah ke kapal kami jam setengah 6an, dimana setelah sebelumnya yang ditunggu cewek itu tadi juga seorang cewek, dan cantik, wow. Kalau tahu seperti itu, mungkin akan aku culik saja..hahaha. (Jangankan culik, mengobrol saja tak berani!..hihi). Masuk ke dalam, dan nyaman sekali dalam kapal ini, ruangannya luas, bisa untuk tidur, dan tidak ramai. Sulut cigar lagi, beli kopi. Pakdeku istirahat, kecapekan katanya, badannya mulai panas, menggigil, meriang. Kupakaikan jaket yang kubawa, dilapis dengan sarungnya biar makin hangat, aku dan Aga bercerita-cerita saja.
Supono Rogo terkapar di kapal, 14/01/2012 malam |
Dalam beberapa menit kemudian, dia muntah-muntah lagi, kali ini lebih parah, disamping itu kursi dibelakangku, seorang nona bersama suaminya, uhm pacarnya mungkin, muntah juga namun karena mabuk laut. Tidak untuk pakdeku, komplikasi kecapekan, mabuk laut, dan pikiran akibat tertekan calo jalanan. Ambil uang recehan saja aku, kugoreskan seperti sedang melukis muka seorang wanita cantik, imajinasiku saja, lebih tepatnya ku kerokin dia pakdeku itu. Maklum, kali ini di kapal lumayan lama, sekitar 4 jam. Meski ombak besar tidak mengancam malam itu.
**
Kami akhirnya tiba di Lembar, sebuah pelabuhan di NTB. Kami bermalam di warung sementara Pakde tidur di Masjid. Aku dan Aga bermain mengisi teka-teki silang sambil ngobrol sama ibu penjaga warung. Beruntung, ada masjid di pelabuhan.
Pukul 5 selepas Sholat Subuh, kami melanjutkan perjalanan yang kami putuskan untuk ke Gili Trawangan. Meski pakde berharap ingin ke kampung Sade. Kami naik angkot hingga tiba di penyeberangan, waktu itu ongkos per 10km adalah 10.000 Rupiah. Kami duduk sejenak di pantai sambil menanti kapal penuh dengan sarapan.
Kami berangkat ke Gili dengan perahu kecil yang penuh kulkas, sound system, bakul sayur, motor dll. Kami melewati Gili Meno dan Gili Air. Setiba di Gili Trawangan, kami cukup kaget, karena suasana waktu itu sangat sepi. Walau sudah cukup banyak bule/turis luar negeri yang datang. Namun, properti belum mewah, masih biasa dan beberapa coutage terbengkalai. Saya dan Aga mengelilingi pulau berjalan di tepiu pantai seperti lagunya Caffeine - Hidupku kan Damaikan HAtimu. Sementara pakde Pono memilih untuk tidur karna kecapekan di bawah pohon bakau dengan memakai alas mantol. Sick! 2 jam saja kami disana, lalu pulang.
Kami naik angkot lagi menikmati kiri kanan pemandangan Lombok. Sampe di tengah kota Lombok kami ganti angkot, disinilah dimulai. Awalnya biasa saja, hingga sampai tinggal kita bertiga hampir menyentuh garis pelabuhan dan sang sopir mengunci pintu, memaksa merebut harta kami. Di luar para calo mengeroyok, ada yang membukakan pintu kami lalu menyeret kami bertiga ke masjid. Untung kami selamat. Lalu, dia menawari untuk ikut naik bareng truk dalam penyeberangan ke Bali. Kami menolak, dan dia menunggu 6 jam untuk itu. Menunggui kami.
Lalu, Aga menelpon kakaknya dan kebetulan di pelabuhan ini salah satu aparatnya adalah teman kakaknya. Kami mendapat tumpangan penyeberangan gratis untuk ke Bali. Waktu itu harga normal 35.000 sementara uang kami hanya sisa 150.000an cukup hanya untuk makan dan beli tiket/transpor pulang.
Sampai di Bali, kami mampir ke warung sampai jam 2 dengan menonton Arsenal. Sambil ngobrol banyak dengan bapak penjualnya. Saya ditanyai soal kuliah yg saya lepas waktu itu. The time when i was go down. Sampai di Denpasar pas subuhnya dan kebetulan ada masjid untuk kami pakai rehat. Kami memutuskan pulang setelahnya, tapi pakde Pono duluan dan aku dengan Aga menginap di Gilimanuk 1 hari. Di salah satu masjid Jama'ah.
Kami pulang keesokan harinya diantar oleh teman kami tersebut setelah diajak ke danau di Gilimanuk pada dinihari. Kami naik kereta dari Banyuwangi ke Solo pada subuh, pemandangan bagus ketika mentari terbit dari ufuk timur menyoroti bukit-bukit di Banyuwangi. Kalian harus mencobanya. Time fliest, tidak terasa kini Aga sudah berkeluarga, pakde sudah pensiun. Dan saya mungkin sudah malas untuk mengulanginya.
0 komentar